Kamis, 21 Maret 2013

MODAL SOSIAL DAN BUDAYA MANUSIA



PARTISIPASI  PEMBERDAYAAN  MASYARAKA  UNTUK  MENCAPAI  MODAL,  NILAI-NILAI  SOSIAL  DAN  BUDAYA

Abstrac
Partisipasi masyarakat adalah indikator utama keberhasilan pembangunan sosial. Bentuk partisipasi tersebut bukan sekedar ikut terlibat saja. Melainkan Masyarakat terlibat aktif dalam perumusan masalah, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi serta menikmati hasil pembangunan kesejahteraan sosial. Partisipasi juga bukan sekedar alat (mobilisasi), tetapi sebagai proses dan tujuan dalam mencapai kesejahteraan sosial, ekonomi maupun politik sekaligus untuk memperkaya modal sosial dan budaya.

Partisipasi Masyarakat (Teori)

Dalam pelaksanaan pembagunan pedesaan, pemerintah haruslah mendasarkan pada pengakuan akan peranan penting yang dimainkan oleh pedesaan sejak dahulu. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa desa mempunyai makna yang strategis bagi setiap pertumbuhan. T.R. Battern (Soebroto, 1988) menegaskan pembangunan masyarakat desa merupakan suatu proses dimana orang-orang yang ada di masyarakat tersebut pertama-tama mendiskusikan dan menetukan keinginan mereka kemudian merencanakan dan mengerjakan bersama-sama memenuhi keinginan mereka. Jadi dalam pembangunan masyarakat desa merupakan tindakan kolektif, dalam artian material dan spiritual.
Talidazuhu Ndraha (Soebroto, 1988) memberikan beberapa kriteria yang terdapat dalam pembangunan masyarakat desa, yaitu :
  1. Adanya partisipasi aktif masyarakat dalam pembagunan
  2. Adanya rasa tanggungjawab masyarakat terhadap pembangunan
  3. Kemampuan masyarakat desa untuk berkembang telah dapat ditingkatkan
  4. Prasarana fisik telah dapat dibangun dan dipelihara
  5. Lingkungan hidup yang serasi telah dapat dibangun dan dipelihara
Sedangkan Mely G. Tan dan Koentjaraningrat (Soebroto, 1988) memberikan beberapa hal yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan pembangunan masyarakat desa, yaitu :
  1. Hasil usaha pembaharuan tersebut harus dapat dilihat secara konkrit dalam waktu yang singkat
  2. Usaha pembaharuan tersebut harus dapat bermanfaat bagi masyarakat yang bersangkutan
  3. Usaha-usaha tersebut tidak boleh bertentangan dengan sistem nilai budaya dan norma-norma yang masih berlaku di dalam masyarakat desa
Sejalan dengan pemaparan diatas, dalam pelasanaan pembagunan yang direncanakan oleh pemerintah; partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan proses pembangunan itu sendiri. Karena masyarakatlah yang mengetahui secara obyektif kebutuhan mereka.
Soetrisno memberikan dua macam definisi tentang partisipasi rakyat (masyarakat) dalam pembngunan, yaitu: pertama, partisipasi rakyat dalam pembangunan  sebagai dukungan rakyat terhadap rencana/ proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam definisi ini diukur dengan kemauan rakyat untuk ikut bertanggungjawab dalam pembiayaan pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan proyek pembangunan pemerintah. Kedua, partisipasi rakyat merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat, dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akn dibangun di wilayah mereka (Soetrisno, 1995).
Bank Dunia (Suhartanta, 2001) memberikan definisi partisipasi sebagai suatu proses para pihak yang terlibat dalam suatu program/proyek, yang ikut mempengaruhi dan mengendalikan inisiatif pembangunan dan pengambilan keputusan serta pengelolaan sumber daya pembangunan yang mempengaruhinya.
Partisipasi sebagai salah satu elemen pembangunan merupakan proses adaptasi masyarakat terhadap perubahan yang sedang berjalan. Dengan demikian partisipasi mempunyai posisi yang penting dalam pembangunan. Sumodingrat menambahkan, bahwa syarat yang harus terdapat dalam proses pembangunan berkelanjutan adalah dengan mengikutsertakan semua anggota masyarakat/rakyat dalam setiap tahap pembangunan (Sumodingrat, 1988).
Conyers (1991) memberikan tiga alasan utama sangat pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu: (1) Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan dan proyek akan gagal, (2) Masyarakat mempercayai program pembagunan jika dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena masyarakat lebih mengetahui seluk beluk proyek dan merasa memiliki proyek tersebut, (3) Partisipasi merupakan hak demokrasi masyarakat dalam keterlibatannya di pembangunan ).
Sedangkan Moeljarto (1987) memberikan penjelasan tentang arti pentingnya partisipasi sebagai berikut :
  1. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat logis dari dalil tersebut
  2. Partisipasi menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat
  3. Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah, yang tanpa keberadaannya tidak akan terungkap. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya pembangunan
  4. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan memulai dari di mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki
  5. Partisipasi memperluas kawasan penerimaan proyek pembangunan
  6. Ia akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh masyarakat
  7. Partisipasi menopang pembangunan
  8. Partisipasi menyediakan lingkungan yang kondusif baik bagi artkulasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia
  9. Partsipasi merupakan cara efektif membangun kemampuan masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan, guna memenuhi kebutuhan khas daerah
  10. Partisipasi dipandang sebagai cerminan hak-hak demokratis individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri.
Adapun partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat berbentuk berbagai macam, yang secara umum dapat dijelaskan sebagi berikut : (1) Keterlibatan menentukan arah strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Hal ini bukan saja berlangsung dalam proses politik, tetapi juga dalam proses sosial; hubungannya antara kelompok kepentingan dalam masyarakat, (2) Keterlibatan dalam memikul beban dan tanggungjawab dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini dapat berupa sumbangan dalam hal mobilisasi sumber-sumber pembiayaan pembangunan, kegiatan yang produktif serasi, dan pengawasan sosial atas jalannya pembangunan dan (3) Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Bagian-bagian daerah maupun golongan masyarakat tertentu dapat ditingkatkan keterlibatannya di dalam kegiatan produktif melalui perluasan kesempatan dan pembinaan.
Sedangkan Talizuduhu Ndraha memberikan pemaparan bentuk partisipasi, sebagai berikut:
  1. Partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain sebagai salah satu titik awal perubahan sosial
  2. Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi; baik dalam arti mengiyakan, menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan), mengiyakan dengan syarat maupun menolaknya
  3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk dalam pengambilan keputusan. Perasaan terlibat dalam perencanaan perlu ditumbuhkan sedini mungkin di dalam masyarakat
  4. Partisipasi dalam operasional pembangunan
  5. Partisipasi dalam menerima kembali hasil pembangunan
  6. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu ketrlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan dapat diwujudkan dengan baik jika sistem pelaksanaan pembangunan kehutanan yang ada melibatkan atau memberikan tempat bagi partisipasi masyarakat. Soetrisno (1995) memberikan beberapa syarat  untuk mengembangkan sistem pembagunan yang partisipatif, yaitu : (1) Mendorong timbulnya pemikiran kreatif, baik di masyarakat dan pelaksana pembangunan, (2) Toleransi yang besar terhadap kritik yang datang dari bawah dengan mengembangkan sifat positif thinking di kalangan aparat pelaksana,  (3) Menimbulkan budaya di kalangan pengelola pemerintahan/pembangunan wilayah untuk berani mengakui atas kesalahan yang mereka buat dalam merencanakan pembangunan di daerah mereka masing-masing dan (4) Menimbulkan kemampuan untuk merancang atas dasar skenario, (5) Menciptakan sistem evaluasi proyek pembangunan yang mengarah pada terciptanya kemampuan rakyat secara mandiri mencari permaslahan pelaksanaan pembangunan dan pemecahan terhadap permasalahan itu sendiri .
Syarat-syarat yang diajukan Soetrisno dapat dilaksanakan dalam model pembangunan yang menekankan peranan perencanaan sebagai usaha untuk mensistematisasi aspirasi pembangunan yang ada di masyarakat dan menyusunnya dalam dokumen tertulis, yaitu rencana pembangunan di suatu wilayah. Model ini melihat bahwa masyarakat merupakan sesuatu yang turbulence atau penuh dengan nilai sosial budaya yang dinamis. Dengan kata lain model ini melihat masyarakat merupakan sistem yang mandiri, sehingga perencanaan bukan bertujuan untuk memanipulasi sistem menjadi subsistem yang bergantung pada suprasistem, melainkan lebih bertujuan untuk menimbulkan keserasian antara kedua sistem, yaitu sistem mikro dan makro.  Model yang demikian selanjunya dikenal dengan Human Action Planning Plan.
Sedangkan model lainnya yang dikenal adalah Mechanistic Planning Model atau Social Engineering Model, yang melihat fungsi perencanaan sebagai upaya mekanis untuk merubah suatu keadaan. Si perencana perubahan berfungsi sebagai seorang ahli teknik yang bertugas membuat blue print perubahan tersebut serta menciptakan upaya yang dapat membuat masyarakat mengikuti pola-pola perubahan yang dirancang. Untuk kemudian, di tingkat pelaksanaan dikenal dengan adanya Petunjuk Pelaksanaan (JUKLAK) dan Petunjuk Teknis (JUKNIS).
Pengertian partisipasi masyarakat merupakan salah satu faktor yang tidak bisa ditinggalkan dalam pembangunan (kehutanan), yang dapat mempunyai pengertian yang luas dan pengertian yang sempit. Sehingga, menurut Awang, partisipasi dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu : cara pandang dimana partisipasi merupakan kegiatan pembagian massal dari hasil-hasil pembangunan; cara pandang dimana masyarakat secara massal telah menyumbang jerih payah dalam pembangunan; dan bahwa partisipasi harus terkait dengan proses pengambilan keputusan di dalam pembangunan.
Hobley (dalam Awang, 1999) merumuskan tingkatan dan arti partisipasi berdasar pengalamannya melaksanakan kegiatan pembagunan kehutanan di India dan Nepal, yaitu:
1. Manipulatif Participation
Karakteristik dari model ini adalah keanggotaan yang bersifat keterwakilan pada suatu komisi kerja, organisasi kerja atau kelompok-kelompok dan bukannya pada individu
2. Passive Participation
Partisipasi rakyat dilihat dari apa yang telah diputuskan atau apa yang telah terjadi, informasi datang dari administrator tanpa mau mendengar respon dari masyarakat tentang keputusan atau informasi tersebut
3. Participation by Consultation
Partisipasi rakyat dengan berkonsultasi atau menjawab pertanyaan. Orang dari luar mendefinisikan maslah-maslah dan proses pengumpulan informasi, dan mengawasi analisis. Proses konsultasi tersebut tidak ada pembagian dalam pengambilan keputusan, dan pandangan- pandangan rakyat tidak dipertimabangkan oleh orang luar.
4. Participation for Material Insentive
Partisipasi rakyat melalui dukungan berupa sumber daya, misalnya tenaga kerja, dukungan pangan, pendapatan atau insentif material lainnya. Mungkin saja petani menyediakan lahan dan tenaga kerja, tetapi mereka tidak dilibatkan dalam proses percobaan- percobaan dan pembelajaran. Kelemahan dari model ini adalah apabila insentif habis, maka tekonologi yang digunakan dalam program juga tidak akan berlanjut.
5.  Functional Participation
Partisipasi rakyat dilihat oleh lembaga eksternal sebagai tujuan akhir untuk mencapai target proyek, khususnya mengurangi biaya. Rakyat mungkin berpartisipasi  melalui pembentukan kelompok untuk penentuan tujuan yang terkait dengan proyek. Keterlibatan seperti ini mungkin cukup menarik, karena mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Tetapi hal ini terjadi setelah keputusan utmanya telah ditetapkan oleh orang dari luar desa tersebut. Pendeknya, masyarakat desa dikooptasi untuk melindungi target dari orang luar desa tersebut.
6. Interactive Participation
Partisipasi rakyat dalam analisis bersama mengenai pengemabangan perencanaan aksi dan pembentukan atau penekanan lembaga lokal. Partisipasi lokal dilihat sebgai hak dan tidak hanya merupakan suatu cara untuk mencapai suatu target proyek saja. Proses melibatkan multi disiplin metodologi, ada proses belajar yang terstruktur. Pengambilan keputusan bersifat lokal oleh kelompok dan kelompok menentukan bagaimana ketersediaan sumber daya digunakan, sehingga kelompok tersebut memiliki kekuasaan untuk menjaga potensi yang ada.
7. Self-Mobilisation
Partisipasi rakyat melalui pengambilan inisiatif secara independen dari lembaga luar untuk perubahan sistem. Masyarakat mengembangkan hubungan dengan lembaga eksternal untuk advis mengenai sumber daya dan teknik yang mereka perlukan, tetapi juga tetap mengawasi bagaimana sumber daya tersebut digunakan.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PEMBERDAYAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN
Konteks pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan pada era globalisasi dan transparansi ini semakin banyak dibicarakan dalam forum-forum diskusi yang dilakukan pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, nasional maupun internasional, dan melalui artikel-artikel dalam media massa. Pada hakikatnya persoalannya terletak pada kepentingan kelompok ataupun perorangan penyelenggara pemerintahan, sikap apatis masyarakat terhadap proyek pembangunan, partisipasi masyarakat yang rendah dalam pembangunan, penolakan masyarakat terhadap beberapa proyek pembangunan, ketidakberdayaan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan serta pemecahan masalahnya, tingkat adopsi masyarakat yang rendah terhadap inovasi, dan masyarakat cenderung menggantungkan hidup terhadap bantuan pemerintah, serta kritik-kritik lainnya yang umumnya meragukan bahwa masyarakat memiliki potensi untuk dilibatkan sebagai pelaksana pembangunan. Yang lebih penting adalah mencari solusi yang sifatnya komprehensif.
Salah satu indikator dari keberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan yang terbaik dalam menentukan atau memperbaiki kehidupannya. Konsep pemberdayaan merupakan hasil dari proses interaksi di tingkat ideologis dan praksis. Pada tingkat ideologis, pemberdayaan merupakan hasil interaksi antara konsep top-down dan bottom-up, antara growth strategy dan people centered strategy. Sedangkan di tingkat praksis, proses interaksi terjadi melalui pertarungan antar ruang otonomi. Maka, konsep pemberdayaan mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based development). Community development adalah suatu proses yang menyangkut usaha masyarakat dengan pihak lain (di luar sistem sosialnya) untuk menjadikan sistem masyarakat sebagai suatu pola dan tatanan kehidupan yang lebih baik, mengembangkan dan meningkatkan kemandirian dan kepedulian masyarakat dalam memahami dan mengatasi masalah dalam kehidupannya, mengembangkan fasilitas dan teknologi sebagai langkah meningkatkan daya inisiatif, pelayanan masyarakat dan sebagainya. Secara filosofis, community development mengandung makna ‘membantu masyarakat agar bisa menolong diri sendiri’, yang berarti bahwa substansi utama dalam aktivitas pembangunan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri.
Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang.
Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis. Lingkungan strategis yang dimiliki oleh masyarakat lokal antara lain mencakup lingkungan produksi, ekonomi, sosial dan ekologi. Melalui upaya pemberdayaan, warga masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan ekologi-nya.
Pola pemberdayaan masyarakat yang dibutuhkan bukanlah kegiatan yang sifatnya top-down intervention yang tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya. Akan tetapi yang paling dibutuhkan masyarakat lapisan bawah terutama yang tinggal di desa adalah pola pemberdayaan yang sifatnya bottom-up intervention yang menghargai dan mengakui bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya, memecahkan permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.
Dalam konsep pemberdayaan, masyarakat dipandang sebagai subyek yang dapat melakukan perubahan, oleh karena diperlukan pendekatan yang lebih dikenal dengan singkatan ACTORS. Pertama authority atau wewenang pemberdayaan dilakukan dengan memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk melakukan perubahan yang mengarah pada perbaikan kualitas dan taraf hidup mereka. Kedua confidence and compentence atau rasa percaya diri dan kemampuan diri, pemberdayaan dapat diawali dengan menimbulkan dan memupuk rasa percaya diri serta melihat kemampuan bahwa masyarakat sendiri dapat melakukan perubahan. Ketiga, truth  atau keyakinan, untuk dapat berdaya, masyarakat atau seseorang harus yakin bahwa dirinya memiliki potensi untuk dikembangkan. Keempat, opportunity atau kesempatan, yakni memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih segala sesuatu yang mereka inginkan sehingga dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Kelima, responsibility, maksudnya yaitu perlu ditekankan adanya rasa tanggung jawab pada masyarakat terhadap perubahan yang dilakukan. Dan terakhir, keenam adalah support yakni adanya dukungan dari berbagai pihak agar proses perubahan dan pemberdayaan dapat menjadikan masyarakat yang ‘lebih baik’.
Titik fokus konsep pemberdayaan adalah lokalitas, sebab civil society menurut Friedmann (1992:31) masyarakat akan merasa siap diberdayakan melalui isu-isu lokal. Tentunya dengan tidak mengabaikan kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur di luar civil society tersebut. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat  tidak hanya pada sektor ekonomi tetapi juga secara politis, sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar yang kuat secara nasional maupun internasional. Target dari konsep pemberdayaan ini adalah ingin mengubah kondisi yang serba sentralistik menjadi situasi yang lebih otonom dengan cara memberikan kesempatan kepada kelompok masyarakat miskin untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang mereka pilih sendiri. Masyarakat miskin juga diberi kesempatan untuk mengelola dana pembangunan, baik yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak luar.
Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat sebenarnya adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi dan politik yang merangkum berbagai nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centered, participatory, empowering, and a sustaniable”  (Chambers, 1995).
Membangun masyarakat dari wacana berfikir yang statis tradisional menjadi masyarakat dengan wacana berfikir kosmopolit yang dinamis rasional. Bahkan keseluruhan proses kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui jalur pembangunan masyarakat desa dan kota (rural and urban community development). Tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Bentuknya bervariasi, meliputi pendidikan formal dan nonformal, penyuluhan pembangunan, komunikasi pembangunan, pendidikan kesejahteraan keluarga, pendidikan tentang nilai-nilai demokrasi, pendidikan keterampilan, pelatihan-pelatihan, dan lain-lain. Margono Slamet (1998:1) mengemukakan tujuan pendidikan sebagai suatu proses untuk mengubah perilaku manusia. Domain yang diharapkan berubah meliputi: pertama, domain perilaku pengetahuan (knowing behavior), kedua, domain perilaku sikap (feeling behavior) dan ketiga, domain perilaku keterampilan (doing behavior).
Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Untuk mencapai tujuan ini, faktor peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan formal dan nonformal perlu mendapat prioritas. Memberdayakan masyarakat bertujuan "mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri" atau "membantu masyarakat agar mampu membantu diri mereka sendiri". Tujuan yang akan dicapai melalui usaha pemberdayaan masyarakat, adalah masyarakat yang mandiri, berswadaya, mampu mengadopsi inovasi, dan memiliki pola pikir yang kosmopolitan.
United Nations (1956: 83-92), mengemukakan proses-proses pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:
(1)   Getting to know the local community
Mengetahui karakteristik masyarakat setempat (lokal) yang akan diberdayakan, termasuk perbedaan karakteristik yang membedakan masyarakat desa yang satu dengan yang lainnya. Mengetahui artinya untuk memberdayakan masyarakat diperlukan hubungan timbal balik antara petugas dengan masyarakat.
(2)   Gathering knowledge about the local community
Mengumpulkan pengetahuan yang menyangkut informasi mengenai masyarakat setempat. Pengetahuan tersebut merupakan informasi faktual tentang distribusi penduduk menurut umur, sex, pekerjaan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, termasuk pengetahuan tentang nilai, sikap, ritual dan custom, jenis pengelompokan, serta faktor kepemimpinan baik formal maupun informal.
(3)   Identifying the local leaders
Segala usaha pemberdayaan masyarakat akan sia-sia apabila tidak memperoleh dukungan dari pimpinan/tokoh-tokoh masyarakat setempat. Untuk itu, faktor "the local leaders" harus selau diperhitungkan karena mereka mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat.
(4)   Stimulating the community to realize that it has problems
Di dalam masyarakat yang terikat terhadap adat kebiasaan, sadar atau tidak sadar mereka tidak merasakan bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan. Karena itu, masyarakat perlu pendekatan persuasif agar mereka sadar bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan, dan kebutuhan yang perlu dipenuhi.
(5)   Helping people to discuss their problems
Memberdayakan masyarakat bermakna merangsang masyarakat untuk mendikusikan masalahnya serta merumuskan pemecahannya dalam suasana kebersamaan.
(6)   Helping people to identify their most pressing problems
Masyarakat perlu diberdayakan agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang paling menekan. Dan masalah yang paling menekan inilah yang harus diutamakan pemecahannya.
(7)   Fostering self-confidence
Tujuan utama pemberdayaan masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat. Rasa percaya diri merupakan modal utama masyarakat untuk berswadaya.
(8)   Deciding on a program action
Masyarakat perlu diberdayakan untuk menetapkan suatu program yang akan dilakukan. Program action tersebut perlu ditetapkan menurut skala prioritas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Tentunya program dengan skala prioritas tinggilah yang perlu didahulukan pelaksanaannya.
(9)   Recognition of strengths and resources
Memberdayakan masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahn dan memenuhi kebutuhannya.
(10)       Helping people to continue to work on solving their problems
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang berkesinambungan. Karena itu, masyarakat perlu diberdayakan agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara kontinyu.
(11)       Increasing people ability for self-help
Salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalan tumbuhnya kemandirian masyrakat. Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya.
Perubahan perilaku ini apabila dipadukan dengan sumber daya alam yang tersedia, akan melahirkan perilaku baru yang disebut partisipasi. Partisipasi ini akan merangsang masyarakat lebih aktif dan kreatif malaksanakan pembangunan yang terarah dan berencana terutama dalam meningkatkan pendapatan -income generating- serta membuka lapangan kerja baru -employment generating- untuk perbaikan kualitas hidup masyarakat.
Syarat-syarat apa saja yang harus diperhatikan agar masyarakat mau berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan program pembangunan masyarakat desa itu? United Nations (1978:5) mengemukakan:
"People will not participate in community development program unless they are getting what they want. Accordingly, the first duty of those responsble for community development programs to identify the felt needs of the people. They should also assist the people in making better judgments for themselves on what their needs are and how to satisfy them. Finally they should be able to identify needs not yet perceived and make the people concious of them and aware of the importance of satisfying them."
(Masyarakat tidak akan mau berpartisipasi di dalam program pembangunan masyarakat, kecuali mereka dapat memperoleh apa yang mereka inginkan. Karena itu, tugas utama dari mereka yang bertanggung jawab di dalam program pembangunan masyarakat ialah mengidentifikasi kebutuhan yang dirasakan masyarakat. Masyarakat juga perlu dibantu untuk mengadakan penilaian yang terbaik bagi mereka, tentang apa yang menjadi kebutuhan mereka termasuk bagaimana menjadikan mereka memperoleh kepuasan. Yang paling penting adalah bagaimana mereka mampu mengidentifikasi kebutuhan yang belum mereka rasakan dan memiliki rasa sadar akan pentingnya rasa kepuasan bagi mereka).

Masyarakat yang berdaya, adalah masyarakat yang dinamis dan aktif berpartisipasi di dalam membangun diri mereka. Tidak menggantungkan hidupnya kepada belas kasihan orang lain. Mereka mampu berkompetisi dalam kontek kerjasama dengan pihak lain. Mereka memiliki pola pikir kosmopolitan, memiliki wawasan berfikir yang luas, cepat mengadopsi inovasi, toleransi tinggi, dan menghindari konflik sosial. Hal ini dapat terwujud berkat aktualisasi pendidikan yang telah membekali mereka dengan perilaku/behavior yang baik dan handal - pengetahuan, sikap dan keterampilan.

Aspek penting dalam suatu program pemberdayaan masyarakat adalah program yang disusun sendiri oleh masyarakat, mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat, mendukung keterlibatan kaum miskin dan kelompok yang terpinggirkan lainnya, dibangun dari sumberdaya lokal, sensitif terhadap nilai-nilai budaya lokal, memperhatikan dampak lingkungan, tidak menciptakan ketergantungan, berbagai pihak terkait terlibat (instansi pemerintah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, LSM, swasta dan pihak lainnya), serta dilaksanakan secara berkelanjutan.
Pada era demokratisasi sebagaimana tengah berjalan di negeri ini, masyarakat memiliki peran cukup sentral untuk menentukan pilihan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasinya. Masyarakat memiliki kedaulatan yang cukup luas untuk menentukan orientasi dan arah kebijakan pembangunan yang dikehendaki. Nilai-nilai kedaulatan selayaknya dibangun sebagai kebutuhan kolektif masyarakat dan bebas dari kepentingan individu dan atau golongan.

       Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum terkecil yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati oleh negara. Pembangunan pedesaan selayaknya mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pembangunan pedesaan dapat dilihat pula sebagai upaya mempercepat pembangunan pedesaan melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk memberdayakan masyarakat, dan upaya mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kokoh. Pembangunan pedesaan bersifat multi-aspek, oleh karena itu perlu keterkaitan dengan bidang sektor dan aspek di luar pedesaan  sehingga dapat menjadi pondasi yang kokoh bagi pembangunan nasional.

TATA KELOLA DESA

Desa sebagai salah satu entitas pemerintahan paling rendah menjadi arena paling tepat bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan kepentingannya guna menjawab kebutuhan kolektif masyarakat. Mengacu pada UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 206 disebutkan bahwa kewenangan desa mencakup:
  1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
  2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.
  3. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota, tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah, kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.
  4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangan diserahkan kepada desa.
Melihat urusan pemerintahan yang dapat dikelola oleh desa sebagaimana diuraikan diatas, maka sesungguhnya desa memiliki kewenangan yang cukup luas. Kepala desa yang menurut undang-undang tersebut dipilih secara langsung oleh rakyat memiliki kewenangan dan legitimasi yang cukup kuat untuk membawa desa tersebut ke arah yang dikehendakinya. Namun demikian, masih sedikit masyarakat desa yang sadar bahwa potensi kewenangan ini harus diperjuangkan kejelasannya kepada pemerintah daerah untuk menjadi kewenangan yang lebih terperinci dan dinaungi oleh kebijakan pemerintah daerah yang cukup mengikat. Hal ini perlu dilakukan agar desa tidak hanya menjadi ’tong sampah’ dari urusan-urusan yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah daerah.

       Pada sisi pengelolaan anggaran, dengan adanya dana perimbangan maka pemerintah desa memiliki keleluasaan untuk mengalokasikan anggaran penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa (pembangunan) sesuai dengan kebutuhan di desa tersebut. Terlebih lagi saat ini, banyak sekali proyek-proyek pembangunan baik itu dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan dari lembaga donor yang memilih desa sebagai wilayah kerja proyeknya. Proyek-proyek berupa pembangunan fisik sarana prasarana, bantuan sosial hingga bantuan ekonomi sepatutnya menjadi energi pendorong tersendiri bagi desa untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan pembangunan desa. Namun demikian, pengelolaan potensi anggaran ini belum dapat dikoordinasikan dan dikelola dengan cukup baik oleh desa sehingga proyek-proyek tersebut dilaksanakan tidak terencana sebagai bagian dari rencana pembangunan desa yang lebih komprehensif. Kadang-kadang budaya ’nrimo’, asal ada yang mau bantu sudah cukup membuat masyarakat desa sedang padahal belum tentu yang proyek tersebut adalah yang dibutuhkan oleh desa.

       Sebagaimana diuraikan dalam Penjelesan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa bahwa landasan pemikiran pengaturan (tata kelola) mengenai desa yaitu:
  1. Keanekaragaman, yang memiliki makna bahwa istilah ’desa’ dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini berarti pola penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan di desa harus menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa.
  3. Otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam perspektif adiminstrasi pemerintahan negara yang selalu mengikuti perkembangan jaman.
  4. Demokratisasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lembaga kemasyarakatan sebagai mitra pemerintah desa.
  5. Pemberdayaan masyarakat, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat.
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

       Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa disusun perencanaan pembangunan desa sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud disusun oleh pemerintahan desa secara partisipatif dengan melibatkan seluruh masyarakat desa.

Perencanaan pembangunan desa disusun secara berjangka meliputi:
  • Rencana pembangunan jangka menengah desa yang selanjutnya disebut RPJMD untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
  • Rencana kerja pembangunan desa, selanjutnya disebut RKP-Desa, merupakan penjabaran dari RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

      RPJMD ditetapkan dengan peraturan desa dan RKP-Desa ditetapkan dalam keputusan kepala desa berpedoman pada peraturan daerah. Perencanaan pembangunan desa selayaknya didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada proyek-proyek pembangunan pedesaan yang dilakukan oleh pihak lain di luar pemerintah desa (seperti REKOMPAK dengan Rencana Pembangunan Permukiman-nya), maka  dokumen-dokumen perencanaan pembangunan yang dihasilkan harus mengacu dan atau terintegrasi dengan RPJM Desa atau RKP-Desa.

PERAN PEMERINTAHAN DESA

       Sebagaimana dipaparkan dalam UU No. 32 tahun 2004 bahwa di dalam desa terdapat tiga kategori kelembagaan desa yang memiliki peranan dalam tata kelola desa, yaitu: pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat desa (pemerintahan desa) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintahan desa ini dijalankan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan di negeri ini.  Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.

      Kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Dalam melaksanakan tugasnya, kepala desa mempunyai wewenang:
  1. memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;
  2. mengajukan rancangan peraturan desa;
  3. menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;
  4. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;
  5. membina kehidupan masyarakat desa;
  6. membina perekonomian desa;
  7. mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;
  8. mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
  9. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

       Badan Permusyawaratan Desa adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya.

BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD mempunyai wewenang:
  1. membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa;
  2. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa;
  3. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa;
  4. membentuk panitia pemilihan kepala desa;
  5. menggali,menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; dan
  6. menyusun tata tertib BPD.
PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA

 Reformasi dan otonomi daerah telah menjadi harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat desa untuk membangun desanya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Bagi sebagian besar aparat pemerintah desa, otonomi adalah satu peluang baru yang dapat membuka ruang kreativitas bagi aparatur desa dalam mengelola desa. Hal itu jelas membuat pemerintah desa menjadi semakin leluasa dalam menentukan program pembangunan yang akan dilaksanakan, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa tanpa harus didikte oleh kepentingan pemerintah daerah dan pusat. Sayangnya kondisi ini ternyata belum berjalan cukup mulus. Sebagai contoh, aspirasi desa yang disampaikan dalam proses musrenbang senantiasa kalah dengan kepentingan pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) dengan alasan bukan prioritas, pemerataan dan keterbatasan anggaran.

       Dari sisi masyarakat, poin penting yang dirasakan di dalam era otonomi adalah semakin transparannya pengelolaan pemerintahan desa dan semakin pendeknya rantai birokrasi yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif terhadap jalannya pembangunan desa. Dalam proses musrenbang, keberadaan delegasi masyarakat desa dalam kegiatan musrenbang di tingkat kabupaten/kota gagasannya adalah membuka kran partisipasi masyarakat desa untuk ikut menentukan dan mengawasi penentuan kebijakan pembangunan daerah. Namun demikian, lagi-lagi muncul persoalan bahwa keberadaan delegasi masyarakat ini hanya menjadi ‘kosmetik’ untuk sekedar memenuhi ‘qouta’ adanya partisipasi masyarakat dalam proses musrenbang sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.

       Merujuk pada kondisi di atas, tampaknya persoalan partisipasi masyarakat desa dalam proses pembangunan di pedesaan harus diwadahi dalam kelembagaan yang jelas serta memiliki legitimasi yang cukup kuat di mata masyarakat desa. Dalam UU No. 32 tahun 2004 sebenarnya telah dibuka ruang terkait pelembagaan partisipasi masyarakat desa tersebut melalui pembentukan Lembaga Kemasyarakatan. Lembaga Kemasyarakatan atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan mempunyai tugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa. Pembentukan lembaga kemasyarakatan ditetapkan dengan peraturan desa. Hubungan kerja antara lembaga kemasyarakatan dengan pemerintahan desa bersifat kemitraan, konsultatif dan koordinatif.
Tugas lembaga kemasyarakatan meliputi:
  1. menyusun rencana pembangunan secara partisipatif;
  2. melaksanakan, mengendalikan, memanfaatkan, memelihara dan mengembangkan pembangunan secara partisipatif;
  3. menggerakkan dan mengembangkan partisipasi, gotong royong dan swadaya masyarakat
  4. menumbuhkembangkan kondisi dinamis masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat.

Dalam melaksanakan tugasnya,  lembaga kemasyarakatan mempunyai fungsi:
  1. penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan;
  2. penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam kerangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. peningkatan kualitas dan percepatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat;
  4. penyusunan rencana, pelaksanaan, pelestarian, dan pengembangan hasil-hasil pembangunan secara partisipatif;
  5. penumbuhkembangan dan penggerak prakarsa, partisipasi, serta swadaya gotong royong masyarakat;
  6. pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan keluarga; dan
  7. pemberdayaan hak politik masyarakat;
·            Kegiatan lembaga kemasyarakatan ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui:
·            Peningkatan pelayanan masyarakat;
·            Peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan;
·            Pengembangan kemitraan;
·            Pemberdayaan masyarakat; dan
·            Pengembangan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat.

       Dalam pelaksanaan kegiatan REKOMPAK di wilayah Kabupaten Ciamis sebelah selatan, proses pembangunan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dimaksudkan untuk mewadahi potensi partisipasi masyarakat desa dalam pengelolaan pembangunan di pedesaan. Pengelolaan pembangunan pedesaan dimaksud adalah segala urusan yang terkait dengan kegiatan pembangunan pedesaan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pendayagunaan produk pembangunan di tingkat desa. Lebih dari itu, BKM juga dapat berperan dalam memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat desa lepada pihak-pihak lain diluar pemerintah desa.

       Apabila dikaji lebih lanjut, karakteristik BKM memiliki kesesuaian dengan ciri-ciri lembaga kemasyarakatan sebagaimana dipaparkan di atas. BKM malah seharusnya memiliki legitimasi yang cukup kuat karena anggota-anggota dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui serangkaian kegiatan pemilihan mulai dari tingkat RT. Kriteria calon anggota BKM pun dibuat atas dasar kesepakatan masyarakat untuk menemukan sosok-sosok ‘orang baik’ yang akan mengendalikan BKM di desanya. Selain itu, proses pengambilan keputusan tertinggi dalam BKM adalah musyawarah warga di tingkat desa.

       Harapan yang cukup besar dari masyarakat desa disandarkan di pundak BKM untuk benar-benar menjadi lembaga masyarakat yang cukup ‘capable’ untuk memperjuangkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat desa. Berbekal dokumen Rencana Pembangunan Permukiman (RPP), BKM diharapkan dapat menjadi ‘marketing’-nya masyarakat untuk mempromosikan kebutuhan pembangunan di desanya kepada pemerintah kabupaten, provinsi, pusat serta pihak-pihak lain yang memiliki perhatian terhadap pembangunan pedesaan.
Kesimpulan
pekerjaan dituntut memiliki strategi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat, mengembangkan dan meningkatkan kemandirian dan kepedulian masyarakat dalam memahami dan mengatasi masalah dalam kehidupannya, keyakinan, untuk dapat berdaya, masyarakat atau seseorang harus yakin bahwa dirinya memiliki potensi untuk dikembangkan, Pembangunan pedesaan dapat dilihat pula sebagai upaya mempercepat pembangunan pedesaan melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk memberdayakan masyarakat, dan upaya mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan efisien
komentar
setiap pembangunan dalam pedesaan maupun perkotaan harus melibatkan masyarakat setempat, dengan demikian masyarakat juga dapat memahami dan mengerti setiap perkembangan dalam diri mereka masing-masing


Referensi
1. Sosiologi Pedesaan (Prof. Dr. H. Syamsir Salam, MS. dan Amir Fadhilah, S.Sos., M.Si)
2. Pembangunan Desa Dalam Perencanaan karya (Johara T. Jayadinata dan I.G.P. Pramandika)
3.Head of Advocate Department at NGO LangsaT (Iwan Kurnianto)
4., Field Coordinator DMC Pangandaran  SOSEK (PKP) (Donny Setiawan)